
Mengapa orang Katolik selama ini tidak banyak
muncul ke dunia politik? Bukankah dengan terjun ke dunia politik berarti kita
ikut memberi garam dan terang dunia? Salah satu kelemahan Gereja Katolik selama
ini adalah kurang merespon situasi politik Indonesia dan kaderisasi. Contohnya,
setelah era Frans Seda, Cosmas Batubara, dan YB Sumarlin, Gereja Katolik seperti
kehabisan stok tokoh Katolik.
Pastor Benny Susetyo Pr mempertanyakan hal itu
dalam seminar bertema “Gereja Katolik dalam Pusaran Dunia (Politik): Quo Vadis?”
di Gedung Srijaya, Surabaya, 10 Juni 2018 yang dihadiri sekitar 500 peserta.
“Apakah peran kita (Gereja Katolik) menghadapi
situasi semacam itu? Bolehkah pastor dan Gereja Katolik berpolitik praktis?
Bolehkan umat Katolik ikut berpolitik praktis? Pertanyaan-pertanyaan itu pun
diangkat oleh Pastor Benny yang saat ini bertugas sebagai Satgas Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) dalam “Gereja dalam Panggung Politik.”
Seraya menghimbau dan memotivasi semua generasi
muda Katolik dan umat Katolik untuk terjun di bidang politik, Pastor Benny
bertanya, “Siapa yang bilang politik itu jahat atau tidak bagus? Politik itu
baik!”
Maka, Pastor Benny mengajak umat Katolik untuk
“berdiri sejajar dengan yang lain dalam membangun bangsa dan negara” dan
mengkritik umat dan pastor yang setiap saat hanya sibuk mengurus paroki tapi
tidak melihat ke luar. “Kita ini hanya berpikir paroki, hanya sibuk di dalam.
Setiap kali yang dipikirkan rapat paroki, tetapi kita tidak berpikir ke luar.
Harusnya sebagai umat Katolik, sebagai garam dan terang dunia, kita terjun ke
dunia politik juga,” tutur imam itu.
Kelemahan lain umat Katolik adalah tidak saling
mengalah dan tidak saling mendukung. “Misalnya dalam satu dapil, harusnya kita
berikan kesempatan kepada calon kita yang secara kemampuan luar biasa untuk maju
menjadi anggota legislatif. Tetapi yang terjadi apa? Kita malah royokan di dapil
itu, sekitar 4-5 orang Katolik di situ. Hasilnya, kita kalah melulu,” jelas imam
itu.
Pastor Benny juga melihat Gereja Katolik “tidak
menyiapkan pendidikan dan kaderisasi politik” tetapi “hanya sibuk urusan di
dalam, bertengkar di dalam, rapatnya paling ramai, jago kandang.”
Maka, Pastor Benny menghimbau peserta seminar
untuk mulai belajar dari Romo Van Lith yang meletakkan dasar Katolik di Jawa.
Karena yakin bahwa pewartaan Gereja tidak akan berhasil kalau Gereja tidak
menjadi Gereja pribumi, jelas imam itu, “Romo Van Lith awalnya tidak membangun
gereja tetapi membangun manusia.”
Awalnya van Lith bukan membangun gereja tetapi
sekolah dan kursus-kursus untuk ibu-ibu warga setempat. “Dari inilah muncul
tokoh-tokoh Katolik yang nantinya menjadi peletak dasar tokoh-tokoh Katolik
yakni tokoh politik, tokoh berpengaruh, karena baru sadar investasi manusia
lebih penting.”
Namun saat ini, sebaliknya, investasi tanah dan
gedung lebih penting. “Dewan paroki datar-datar saja. Kalau urusan pembangunan
gereja umat antusias, kalau urusan kaderisasi umat tidur karena merasa tidak
penting.”
Akhirnya, imam itu mengamati, “kita seperti ini,
bukan menyiapkan manusia yang mampu menjadi tanda sarana hadirnya Allah itu,
karena keberhasilan diukur dari materi bukan kualitas manusianya. Bagaimana
Gereja bisa hadir menjadi ajur ajer, menjadi terang dan garam
dunia, itu tidak pernah dipikirkan.” (herman yos
k)
Source : penakatolik.com
No comments:
Post a Comment